Saya seorang ibu dengan 3 putra (laki-laki semua) yang sudah beranjak dewasa. Saya dan suami tidak merokok, tentu saja anak-anak juga tidak terbiasa melihat orang merokok di rumah. Sayapun cukup tegas untuk mensterilkan rumah dari segala macam asap rokok. Hanya sesekali ada tamu suami yang merokok, tapi itu sangat jarang sekali. Sampai suatu saat saya mengetahui kalau anak yang nomor dua mulai ketahuan merokok sejak lulus SMA setahun yang lalu. Awalnya tidak mau mengaku, dia bilang teman bermainnya yang merokok. Tapi orang merokok sudah bisa dipastikan dari bau badan, rambut sampai bajunya. Salah satu indikasi berbohong itulah yang membuat saya semakin galau, bingung harus bagaimana. Karena memang sebelumnya tidak pernah menghadapi anak yang merokok, apalagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi lagi.
Berlatar keprihatian tersebut, saya cukup antusias ketika mendapat undangan dari Radio Prima lewat mbak Beatrix. Yaitu Talkshow tentang serial "Rokok Harus Mahal di Ruang Publik KBR pada hari Rabu 18 Juli 2018 di hotel Singgasana Surabaya. Meski sebelumnya ada beberapa jadwal acara yang bersamaan, saya mencoba menggeser supaya bisa hadir. Saya ingin mengetahui bagaimana peran pemerintah dan kepedulian masyarakat terhadap bahaya merokok yang sudah mulai merambah ke anak muda bahkan anak di bawah umur.
Disamping memperingati Hari Anak Nasional 2018, sebenarnya Serial Rokok Harus Mahal ini diselenggarakan untuk mengingatkan bahwa harga rokok yang murah, membuat konsumsi rokok makin tidak terkendali. Termasuk pengkonsumsi terbesar yaitu keluarga miskin dan merambah ke anak-anak. Dengan tema "Melindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal", talkshow pagi ini menghadirkan 3 narasumber yaitu :
1. Dr Santi
Martini, dr. M Kes - Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga
2. Lisda
Sundari - Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia
3. Dr Sophiati
Sutjahjani, M Kes - Ketua Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa
Timur
Pada kesempatan pertama dokter Sophi memaparkan bahwa Muhammadiyah memang sudah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Penjelasan beliau seperti berikut ini :
"Selain sebagai Ketua Majelisan Kesehatan Aisyiyah Jawa Timur. Saya juga kebetulan Survei Akreditasi Puskesmas
yang harus berkeliling di seluruh puskesmas di Indonesia, termasuk di klinik-klinik.
Nah, salah satu indikator yang harus dilihat itu adalah indikator keluarga
sehat. Indikator keluarga sehat itu, ada 12 indikator. Salah satunya tidak
merokok. Hasilnya memang belum semua desa selesai disurveinya. Masih di bawah 50 persen yang memenuhin 12 indikator sehat tadi. Karena yang
paling berat adalah masih banyaknya yang merokok dalam satu keluarga.
Sebenarnya sudah ada di UU kesehatan, UU peraturan pemerintah, SKB Menteri,
tentang kawasan tanpa rokok yaitu ada di
tempat ibadah atau tempat pendidikan. Tapi memang memang masih ada para pendidik yang
merokok, sehingga akan dilihat oleh murid-murid mulai yang kecil sampai yang besar. Karena itu Muhammadyah melalui Fatwa yang sudah dikeluarkan
pada tahun 2010, menggerakkan kegiatan-kegiatan termasuk Aisyiyah yang merupakan salah
satu Ortum (Organisasi bagian dari Muhammadyah). Salah satunya adalah membekali kepada guru-guru. Jadi kan
ada di amal usaha, kalau keluarga itu melalui majelis kesehatan dari pimpinan
pusat Aisyiyah, pimpinan wilayah Aisyiyah, pimpinan daerah se Indonesia,
kemudian pimpinan cabang yang di kecamatan, pimpinan ranting yang di kelurahan,
itu melakukan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Salah satunya adalah dakwah untuk
menghentikan rokok ini.
Muhammadiyah juga mempunyai cara pendekatan kasih sayang melalui murid-muridnya baik itu yang TK maupun yang SD. Para guru di dorong mempunyai keterampilan mengajarkan kepada anak didiknya untuk bisa menyampaikan pesan kepada ayahnya.
"Ayah, jangan merokok ayah. Ayah, aku sayang ayah."
Karena di Indonesia ini perokok sebagian besar masih laki-laki, yang biasanya cukup dengan dengan anak perempuan. Dan ternyata trik ini cukup berhasil.
 |
Suasana Talkshow Rokok Harus Mahal (dok.pri) |
Kesempatan kedua adalah dokter Santi memaparkan tentang prevalansi anak-anak yang merokok makin besar dan semakin usia muda :
"Jadi kalau kita lihat datanya dulu dari seluruh
Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dibandingkan dengan yang terkahir
Riskesdas 2013, masih belum banyak berubah. Kemudian kalau kita lihat
sebelumnya berdasarkan sensus tahun 1995, kemudian kita lihat lagi Riskesdas
tahun 2007 itu juga blm banyak berubah angkanya, malah bahkan pada kelompok
umur tertentu itu meningkat. Jadi kalu kita lihat usia, kalau di Riskesdas kan
10 tahun ke atas surveinya, itu sampai usia kurang dari 15 tahun angkanya masih
sekitar 0,7; 0,5 masih belum berubah, kan 15 tahun dan 24 kalau itu masih
dikategorikan anak ya, itu malah meningkat sampe 20 kali lipat.
Jadi kalau
kita lihat kan harganya juga masih sekitar segitu ya harga rokok, ini Lentera
anak punya datanya tentang katalog harga rokok. Kalau kita lihat faktanya pun
mungkin kita juga mengakui kan? Harga rokok itu jauh lebih murah daripada harga
pisang goreng dan telur. Bayangkan! Jadi kita bisa melihat betapa masalah akses
maupun avaibility dari rokok itu sangat mudah dijangkau oleh anak-anak
dengan uang saku yang sangat kecil. Kita
punya surveinya tentang uang saku itu."
Sebagai narasumber yang ketiga adalah mbak Lisda dari Lentera Anak yang menyampaikan bahwa :
"Untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah
perokok, harus mengendalikan konsumen (atau rokok yang dikonsumsi). Jadi mengendalikan jumlah konsumsi
rokok itu ada banyak cara, ada aspek supply atau bisa juga pada aspek demand. Sekarang yang sedang kita lakukan di sini hanya pada aspek demand, agar
kebutuhan rokok itu jadi menurun. Banyak upayanya, salah satunya adalah
meningkatkan harga rokok itu sendiri. Itu sudah berdasarkan survei dan sudah
banyak dilakukan, Terakhir saya dengar kemarin diseminasi dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh FKM UI, bahwa harga rokok yang mahal adalah solusi untuk bisa menurunkan perokok
supaya berhenti merokok maupun tidak merokok lagi atau tidak beli lagi.
Artinya pemerintah ini juga melakukan kebijakan
itu tidak hanya sekedar kebijakan tapi kita mendorong pemerintah itu melakukan
kebijakan yang berbasis evidence. Ini peran dari perguruan tinggi untuk
melakukan seperti itu. Sedang kalau melihat dari uang sakunya,
kebetulan kita pernah melakukan survei tentang uang saku pada tahun 2018 ini sekitar bulan februari, rata-rata uang saku anak SD-SMP di Surabaya itu antara 500 rupiah sampai 8 ribu. Kalau misalnya harga rokok, tadi kata
mbak Lisda, seribu atau bahkan ada yang dibawah seribu, sekitar 500. Yang berarti, akses kepada anak-anak itu menjadi
mungkin dan sangat mudah sekali. Itu poin yang pertama.
Kemudian yang kedua, seharusnya kita punya regulasi. Rokok itu banyak dijual di sembarang tempat. Hampir di sekeliling kita terdapat penjual rokok, baik di dekat rumah maupun di dekat sekolahan. Sebenarnya rokok
itu kan tidak boleh dijual di sembarang tempat terutama di kawasan tanpa rokok. Tapi faktanya itu belum dijalankan, terutama di jual secara eceran (ketengan), itupun belum ada regulasinya."
Ketika ada sesi tanya jawab, saya mencoba mengajukan beberapa usul dan masukan. Terutama dari rasa keprihatinan sebagai seorang ibu, yang cukup khawatir terhadap perkembangan generasi penerus bangsa yang terkontaminasi oleh rokok dan masih sulit mencari jalan keluar. Berikut ini masukan saya :
1. Ijin mendirikan pabrik rokok harus dibatasi.
Pemerintah harus membatasi ijin mendirikan pabrik rokok, baik yang skala rumahan sampai yang skala ekspor. Karena memang rokok merupakan pemasukan yang besar, itu tidak lepas dari masih banyaknya orang yang suka merokok. Sehingga produsen tidak segan-segan mempertahankan produksinya.
2 Selanjutnya ijin untuk produksi juga harus dibatasi.
Produksi rokok dibatasi dan diawasi, dengan hanya memproduksi sesuai pesanan. Jadi tidak ada kelebihan sehingga bisa di jual bebas.
3. Pemerintah harus membuat peraturan yang bisa membeli rokok secara umum.
Pemerintah bekerja sama dengan YLKI untuk membatasi umur pembeli rokok. Karena penjualan rokok selama ini cukup bebas, kadang anak kecil bisa membeli dengan alasan di suruh ayahnya. Bila perlu di tanya KTP ketika mau membeli rokok, terutama yang kelihatan masih bocah. Jadi orang tua tidak akan sembarangan menyuruh anaknya membeli rokok.
4. Di larang menjual rokok secara sembarangan.
Menjual rokok tidak boleh terlihat dari luar, harus tempatnya tertutup. Bila perlu harus mengurus ijin, dengan biaya yang juga tidak murah.
5. Sosialisasi rutin tiap bulan di setiap sekolah-sekolah.
Bila perlu cek kesehatan sebelum masuk sekolah baik SMP SMA atau Universitas. Kalau ada keterangan bahwa anak tersebut merokok, harus mendapat perhatian dari orang tua. Sekolah hanya memantau. Bila perlu mendapat konseling khusus.
6. Muncul produk pengganti rokok yaitu VAPE.
Hampir seluruh masyarakat pasti tahu, kemunculan vape yang akhir-akhir ini diklaim sebagai pengganti rokok. Tentunya ini lebih sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya karena cara pakainya 11-12 dengan rokok. Yang lebih mengkhawatirkan adalah temuan akhir-akhir ini yang menyatakan bahwa kandungan di dalam vape bisa disisipi narkoba.
 |
Seluruh peserta dan narasumber acara #RokokHarusMahal (dok.prima radio) |
Sebenarnya sudah lama rokok menjadi musuh kita bersama dan tidak tanggung-tanggung dalam memeranginya. Ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang membatasi ruang bagi perokok, tekhnologi memunculkan vape yang notabene justru semakin memperparah keadaan.
Menurut saya, menaikkan harga rokok di buat semahal-mahalnya itu bukan solusi yang tepat. Karena bagi yang sudah kecanduan, tidak akan pernah berhenti mencari cara dan kesempatan untuk bisa membeli atau menikmatinya. Contohnya adalah mereka bisa membeli rokok secara patungan dan di pakai beramai-ramai. Atau mencari rokok bekas (utis dalam bahasa jawa). Apakah itu tidak akan memunculkan masalah baru di bidang kesehatan?
Inovasi itu tidak akan pernah berhenti, seiring dengan kecanggihan tekhnologi serta jaman yang makin modern. Termasuk inovasi merusak mental generasi bangsa. Karena pihak yang ingin mengambil kesempatan tersebut, selalu mencari cara supaya dia tetap bisa melakukan bisnis yang menguntungkan secara ekonomi tanpa memikirkan dampaknya. Tentunya pe er pemerintah akan menjadi semakin berat untuk mencari solusi yang tepat menghadapi bisnis rokok yang seolah tidak bisa tergusur ini. Tanpa dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat, tentunya harapan untuk generasi bersih dari rokok tidak mungkin akan tercapai.
As studies show, these solutions can really significantly reduce the number of smokers but will not help to completely solve the problem.
ReplyDeleteThis problem must be dealt with in every possible way imaginable since it has a very strong effect on the health of the nation as a whole.
ReplyDelete