Ternyata Skills Lebih Penting Daripada Titel

Berita tentang Ignatius Ryan Tumiwa mungkin mengagetkan dan membuat tersentak dunia pendidikan. Yang pasti pemberitaan tentang sarjana S2 UI yang mengajukan permohonan ke MK untuk diijinkan melakukan suntik mati itu, sekarang banyak menghiasi pemberitaan di hampir semua media. Baik media elektronik, media cetak maupun  media sosial termasuk KOMPASIANA yang memiliki banyak “wartawan” cerdas, jeli, teliti, cermat dan sangat kritis.

Bukan bermaksud latah, walaupun sudah banyak artikel yang menulis tentang “fenomena” ini. Tapi tangan saya gatal juga kalau tidak ikutan mengkritisi masalah tersebut dari sudut pandang dan bahasa saya sendiri. Memang tidak spesifik membahas Ryan Tumiwa, tapi inilah gambaran nyata dari tidak adanya korelasi atau hubungan yang harmonis antara pendidikan (lulusan sarjana) dan peluang pekerjaan yang tersedia. Meskipun banyak yang belum terungkap atau terekspos dari latar belakang mengapa sampai Ryan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan titel sarjananya. Kita tunggu saja kira-kira media mana yang akan mengungkapnya. Karena disini saya “sekali lagi” akan bercerita tentang pengalaman saya waktu kuliah dan strategi untuk bisa mendapat pekerjaan.

Kebetulan saya dulu pernah mengecap bangku kuliah di Diploma 3 universitas yang menerapkan ilmu pendidikan lebih banyak ke praktek daripada teori. Yaitu Politeknik jurusan Sekretaris (Administrasi Niaga)  di satu universitas negeri di Malang Jawa Timur. Ketika saya naik ke semester 6 (semester terakhir), ada satu perusahaan yang tertarik untuk merekrut saya sebagai karyawatinya. Dengan catatan saya harus keluar kuliah karena mereka maunya saya kerja fulltime. Pada masa itu, memang banyak teman-teman kuliah yang senasib seperti saya. Dan itu merupakan satu kebanggaan tersendiri karena sudah “laku” meski belum lulus, serta rejeki yang tidak boleh di tolak. Karena mencari pekerjaan juga sulit apalagi dengan gaji sesuai yang kita minta. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti kuliah, tentunya juga atas restu dari orang tua (tapi setelah berdebat dan berjanji suatu saat akan meneruskan lagi).

Ternyata saya hanya bertahan 2 tahun di perusahaan tersebut, karena ingin mencoba di tempat yang lain (tentunya mencari standard gaji yang lebih tinggi). Dan ketika saya melamar satu pekerjaan, saya selalu melewatinya dengan mulus dan lancar karena ketika kuliah dulu sudah terlatih seperti bener-bener dalam lingkungan bekerja. Memang seperti umumnya ketika sessi wawancara pasti yang ditanyakan adalah skills yaitu kecakapan dan keahlian yang sudah dikuasai. Biasanya tes praktek yang kebanyakan ditakuti oleh para pelamar, apalagi kalau tidak terbiasa menjalaninya. Sedang bagi saya, praktek sudah seperti makanan sehari-hari selama hampir 3 tahun.

Mungkin kondisi sekarang beda dengan jaman saya kuliah dulu. Setiap perusahaan mempunyai standard titel sarjana tertentu yang harus dipunyai calon karyawannya sesuai posisi dan jabatan. Tapi saya yakin, skills tetap nomor satu untuk dijadikan bahan pertimbangan. Kalau tempat saya kuliah dulu memang lulusannya menjadi sarjana muda (tanpa titel) tapi tenaganya sudah siap pakai.

Di bawah ini adalah sedikit masukan sesuai pengalaman saya, supaya tidak menemui kesulitan dan bisa bersaing dalam mencari peluang pekerjaan :

1. Teori harus dibarengi dengan praktek.
Tidak semua jurusan di universitas memberikan mata kuliah praktek lebih banyak dari teorinya, kecuai sekolah berbasis kejuruan. Jadi kita sendiri yang harus aktif untuk selalu mempraktekkan ilmu pengetahuan yang kita terima sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu tidak sulit, tinggal kemauan kita saja.

2. Mengisi liburan dengan magang di perusahaan.
Ketika kuliah semester 1 dan 2 kita di wajibkan untuk magang atau praktek kerja di suatu perusahaan. Biasanya memilih lokasi yang satu kota dengan tempat tinggal kita. Jadi maksudnya sekalian bisa liburan tapi sambil magang bekerja. Pihak kampus hanya menyediakan surat rekomendasi untuk minta di beri kesempatan PKL (Praktek Kerja Lapangan). Karena kita bisa mengambil banyak manfaatnya daripada liburan hanya di pakai main atau ngabisin duit, maka selanjutnya kami lebih suka libur semester untuk magang. Sekalian mencari peluang menunjukkan kemampuan diri ke perusahaan tersebut, siapa tahu kalau lulus bisa di rekrut. Dan memang itu yang sering terjadi. Sehingga magang menjadi salah satu strategi kami untuk mencari sasaran perusahaan yang kami inginkan.

3. Menambah SKILLS (kecakapan atau keahlian).
Ketika saya baru mempunyai pengalaman kerja di satu perusahaan, itupun baru 2 tahun saja – saya tidak grogi ketika harus bersaing dengan calon sekretaris yang punya titel Sarjana. Dengan dibekali pelajaran praktek yang saya dapat nonstop selama hampir 3 tahun. Kalau hanya sekedar mengetik 10 jari tanpa melihat keyboard, menulis cepat stenografi, mengonsep surat dalam bahasa Indonesia dan Inggris, membuat notulen sampai membuat neraca keuangan – sudah menjadi makanan sehari-hari. Kita akan merasa PD (Percaya Diri) mendaftar ke perusahaan manapun kalau yakin mempunyai kemampuan yang bisa diandalkan. Walaupun mungkin pengalaman kerja masih sedikit. Sedangkan untuk menambah kemampuan bisa dengan mengikuti segala macam kursus. Tapi yang merasa tidak ada biaya, bisa memanfaatkan tekhnologi internet. Segala macam informasi sangat mudah, gampang dan tersedia banyak alamat website yang kita butuhkan.

4. Mencari relasi sejak usia “dini”
Sejak pertama bekerja, saya sudah mencari peluang untuk mencari relasi dan menjalin komunikasi sebaik-baiknya. Karena bagi saya relasi itu merupakan asset. Sangat diperlukan tidak hanya saat kita bekerja tapi dalam rencana jangka panjang ketika kita sudah tidak bekerja lagi. Saya pernah di terima kerja tanpa tes atau seleksi, karena ternyata mantan pimpinan saya waktu di perusahaan properti adalah komisaris dari perusahaan yang akan merekrut saya. Dia bahkan masih ingat hasil kerja saya yang menurut dia sangat memuaskan, sehingga menyisakan kesan bagi beliau sampai sekarang.

5. Menanamkan jiwa mandiri.
Saya yakin setiap orang pasti punya keinginan untuk tidak selamanya menjadi karyawan (bekerja untuk orang lain). Tapi biasanya keinginan itu muncul ketika kepepet atau sudah terlambat. Justru ketika kita masih aktif bekerja ataupun dalam puncak karir yang cemerlang dan mapan, keinginan untuk mandiri sudah harus dipersiapkan. Tentunya dengan perhitungan waktu harus tepat dan matang. Sehingga tidak ada yang dikorbankan terutama masalah ekonomi dan keluarga.

Apakah Ignatius Ryan Tumiwa pernah terpikir tentang hal-hal seperti ini waktu kuliah dulu?

Kesimpulan dari tulisan saya ini adalah “dengan skills atau kecakapan, kemahiran dan keahlian yang kita miliki pasti akan berguna ketika kita dalam keadaan tidak bekerja. Baik ketika nganggur karena belum mendapat pekerjaan atau ketika punya keinginan untuk mandiri (berwiraswasta)”

Maaf tulisan saya terlalu panjang ya…. Karena saya memang seneng bercerita dan pasti mendetail sekali. Untung masih dalam bentuk tulisan, jadi bacanya bisa di cicil. Coba kalo dengerin saya ngoceh, paling sudah keriting kuping yang dengerin hehehehe.

Semoga bisa bermanfaat…


Catatan harian, 11 Agustus 2014
Pukul : 02.06

Post a Comment

Inspiravy
Theme by MOSHICOO