Saya, Jiwa Korsa & Cinta Untuk Tanah Air


1402507995802246961

dokumentasi pribadi
Sekali lagi, ini adalah pengalaman pribadi. Artikel yang saya tulis ini adalah “based on the true story”, dan tokohnya adalah saya sendiri. Saya hanya sekedar ingin berbagi cerita pengalaman hidup, yang saya yakin tidak semua orang bisa “seberuntung” saya waktu itu.

Pada tahun 1987, saya di terima menjadi mahasiswi di Politeknik Universitas Brawijaya Malang jurusan Polibisnis (Sekretaris). Dan salah satu syarat wajib yang harus dijalani semua mahasiswa baru (tanpa kecuali) adalah mengikuti pelatihan kemiliteran atau di sebut WAMIL. Tentunya diawali dengan serangkaian tes terutama tes fisik dan kesehatan. Apabila ada yang mengidap penyakit serius dan cukup berbahaya kalau dipaksakan ikut, mereka bisa bebas. Tapi…..alhamdulillah saya lolos (melihat pengumuman dengan wajah kecut dan masam). Karena terus terang, meski saya anak kolong dan kakak saya juga tentara – tapi seumur-umur tidak pernah tahu apalagi merasakan secara langsung gemblengan secara militer yang terkenal dengan keras dan tegas. Sempat ciut juga nyali saya.
1402509122995670069
saya bertopi di tengah (dokumentasi pribadi)
Selama 2 minggu kami dimasukkan ke barak di daerah Rampal Malang. Di gembleng keseharian ala militer oleh tentara beneran yang keras, tegas, disiplin, tepat waktu dan cekatan. Tidak pandang bulu itu laki atau perempuan, besar atau kecil, anak jendral atau anak tukang becak, jurusan tekhnik atau sekretaris. Tidak ada satupun yang lolos, semuanya harus merasakan kegiatan-kegiatan bahkan sampai hukuman.

Lari sudah menjadi menu wajib, dari membuka mata subuh jam 4 sampai sebelum tidur jam 11 malam. Sebelum makan wajib lari, sesudah makan harus lari. Kadang perut bisa sampai kram-kram gitu. Padahal dengan memakai helm besi, baju dan sepatu tentara yang hampir 5 kilo sendiri, bisa dibayangkan postur tubuh saya yang mungil jadi tenggelam dengan jalan yang terengah-engah karena keberatan beban. Belum kalau di bawain senjata (beneran) sambil memanggul ransel yang isinya pasir basah….ampuuuuuuunnnn dijeeeeeeee. Tapi seringnya ransel saya dibawain temen cowok yang iba melihat saya udah pucet karena kelelahan hehehehe. Eh ternyata ketahuan sama kakak pembina. Maka habislah kami 1 peleton di suruh guling-guling di lapangan yang basah penuh lumpur karena habis hujan.

Kami di beri jatah waktu makan cuman 15 menit, dan itu harus habis tanpa sisa. Kalau saya nggak habis, biasanya makanan itu saya transfer ke teman yang kebetulan makannya banyak. Nah ketahuan lagi. Akhirnya saya di suruh makan nasi campur pisang buah dalam hitungan detik. Di tambah, di suruh merayap selama 10 meteran untuk mengambil air minum. Ya terpaksa, daripada sereten hehehehe….

Sebenarnya banyak cerita yang ingin saya tulis di sini. Tapi takut teman-teman pusing melihat tulisan yang panjang sekali. Yang pasti, masa-masa karantina di Rampal menjadi salah satu cerita favourite yang sering kami bahas apabila ada kesempatan berkumpul dengan teman-teman kuliah waktu reuni.

Memang, setelah beberapa tahun berlalu, saya merasakan pengalaman itu sekarang justru menjadi kenangan teramat manis yang tidak hanya selalu di ingat, di samping bisa menjadi bahan cerita ke teman, saudara, bahkan anak cucu nanti – tapi juga meninggalkan pesan yang mendalam terutama dalam jiwa saya.

Betapa berat didikan militer untuk anak bangsa yang memang dipersiapkan menjadi penjaga tanah air tercinta baik yang di darat, laut maupun udara. Bahkan mereka melaksanakan kontrak mati untuk ibu pertiwi dan bersumpah akan menukarkan nyawanya sekalipun untuk persatuan serta kesatuan bangsa.

Kekompakan dan kesetiakawanan yang ditanamkan kepada kami, begitu tinggi sehingga seperti sudah mendarah daging sampai sekarang. Belakangan yang saya ketahui, itulah yang namanya jiwa korsa.

Pengertian JIWA KORSA bagi saya adalah tidak mementingkan diri sendiri dan siap berkorban untuk kepentingan yang lebih besar. Biasanya memenuhi unsur :

- rasa hormat, baik rasa hormat pribadi (kepada rekan atau atasan) maupun kepada korps atau     organisasi
- rasa setia yang meliputi rasa setia kawan, mau berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri
- rasa toleransi yaitu kesadaran akan kebersamaan, senasib serta sepenanggungan

Sebenarnya jiwa korsa tidak hanya penting dikalangan militer saja, tetapi juga di organisasi, lembaga ataupun komunitas manapun. Jiwa korsa yang baik dan tepat akan menciptakan disiplin ketertiban, moril dan motivasi, tentu saja juga akan meningkatkan ketrampilan profesinya, karena merasa malu apabila tidak mampu.

Seseorang yang betul-betul menjiwai arti dari jiwa korsa yang tinggi akan menunjukan penampilan yang tegas, penuh semangat, tidak loyo, berani dan tingkah lakunya selalu menjadi teladan, karena jiwa korsanya itu telah jadi stimulan untuk menjaga nama baik korps, kesatuan maupun organisasinya.

Haruskah semua warga Indonesia diwajibkan untuk mengikuti wamil, seperti negara tetangga kayak Korea? Supaya jiwa korsa dan rasa cinta tanah air bisa ditumbuhkan kembali. Sehingga perpecahan dan pertikaian yang selama ini sudah menjadi budaya bisa dihilangkan?  Won Bin dan Rain yang bintang Korea kelas dunia aja dengan senang hati ikut wamil karena demi rasa cinta pada negaranya. Mereka malah keren dan tambah ganteng dengan kepala gundul serta baju doreng tentaranya…

Kalau saya sih YES! Anda….?


Catatan Harian, 12 Juni 2014
Pukul : 00.17 WIB

Post a Comment

Inspiravy
Theme by MOSHICOO