Menjadi Wanita Metropolis Atau Metropawon?

Mama…. Akbar boleh main ke rumah nggak? Kasihan dia lagi sakit dan sendirian di rumah, mamanya lagi ke luar kota.” begitu pertanyaan Adham ketika saya baru tiba di sekolahnya.

“Sendirian? Memangnya si mbak nggak ada?” saya ganti bertanya sambil mengernyitkan alis, sedikit heran. Si mbak yang saya maksud adalah pembantunya.

“Mbak Ning lagi jenguk anaknya sakit. Tadi aku di suruh ke rumah bulik Santi, tapi aku gak mau. Boleh ya tante aku ke rumah Adham?” pinta Akbar setengah merengek. Wajahnya sedikit kuyu dan pucat karena dia dalam kondisi gak enak badan karena flu. Di kedua tangannya sudah membawa tas berisi semua keperluan dia yang rencana mau di bawa ke tantenya.

Beberapa kali Akbar memang sering main ke rumah.  Dia teman Adham satu kelas sejak kelas 1 sampai 4 ini. Kebetulan saya cukup mengenal dekat mamanya, wanita dengan karir cemerlang tapi single parent. Sehari-hari dia di rumah dengan mbak Ning, pembantunya. Kalau berangkat  sekolah dan pulangnya sudah ikut antar jemput. Bulik Santi adalah adik dari papa Akbar. Tapi sepertinya Akbar tidak menemukan kenyamanan kalau harus tinggal sementara di rumah tantenya itu.
“Kalau begitu Akbar telpon bulik Santi ya, biar nanti gak di cari.”

Saya sih tidak pernah berpikir terlalu lama kalau soal mengijinkan anak-anak bermain ke rumah. Di samping sudah biasa, sejak Thomi SD rumah saya sering di pakai tempat kumpul-kumpul. Baik itu untuk belajar bersama, mainan game online atau sekedar ngumpul dan ngobrol. Malah mereka juga sering nginap di rumah. Saya lebih suka begitu, daripada anak-anak sering keluar sehingga jauh dari pantauan kami sebagai orang tua.

Akhirnya si Akbar ikut saya pulang ke rumah. Tidak lupa saya bbm Resti – mamanya, untuk memberitahu kalau sementara ini biar dia tinggal di rumah saya sampai Ning balik besok. Mungkin karena memang sedang rapat atau sibuk dengan kegiatan kantor, jam 4 sore dia baru nelpon menjelaskan bahwa dia terpaksa harus ke luar kota karena rapat rutin tahunan dari kantornya. Dan tak lupa mengucapkan terima kasih karena saya sudah berkenan menampung Akbar yang kebetulan juga lagi sakit.

***
Akbar adalah salah satu contoh anak yang menjadi korban dari modernisasi sosial dan modernisasi tekhnologi.
Modernisasi sosial yaitu dengan semakin maju dan berkembang perekonomian tanah air, peran wanita di dunia bekerja juga tidak bisa di anggap enteng. Banyak peluang yang menawarkan posisi dan jabatan tinggi yang dulu hanya di tempati oleh para pria. Semakin tinggi karir, pastinya kebutuhan ekonomi untuk memenuhi gaya hidup dan sehari-hari pasti juga semakin tinggi. Demi mengejar karir, banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk menyeimbangkan semua kebutuhan. Terutama membayar waktu untuk keluarga supaya bisa digantikan dengan waktu untuk bekerja di luar rumah.

Modernisasi tekhnologi adalah semua komunikasi di anggap menjadi mudah dan gampang ketika kita sudah memegang segala macam gadget dan perangkat modern lainnya yang menjadi alat memperlancar proses komunikasi. Dengan bekal komunikasi yang sekarang hanya sebatas genggaman, para orang tua merasa cukup puas memantau anak-anak hanya lewat telpon, sms, bbm, wa, line, skype dan lain-lain. Padahal semua peralatan tersebut tidak bisa mengalahkan dari perhatian dan sentuhan langsung komunikasi dari orang tua dengan anaknya.

Saya sering merasakan kalau kecanggihan tekhnologi itu tidak berguna dan sia-sia. Pernah suatu kali, sering juga sih….saya nelpon si  sulung Thomi sampai 10 kali. Boro-boro di angkat, di bales lewat sms aja enggak. Sampai saya harus nulis lewat inbox fesbuk dan twitter. Memang itu juga salah satu penyakit anak jaman sekarang. Kalo yang nelpon teman atau pacar, pasti cepat2 di angkat. Coba kalau nama mamanya yang muncul di layar handphone, pasti alasannya yang silent, lagi nyetir, lupa balas nelpon atau paling menyebalkan adalah alasan kehabisan pulsa…. (maaf curcol hehehehehe…)

***

Menjadi seorang RESTI mungkin memang tidak mudah. Dia pasti juga merasa dalam posisi yang sulit jika di suruh memilih. Antara tugas utama sebagai seorang ibu yang diamanahkan padanya, tapi disisi lain karena sebagai single parent dia juga harus mencari nafkah untuk keluarga kecilnya dan masa depan anaknya.

Saya tidak bermaksud mengecilkan arti wanita karir terutama yang sudah sukses. Saya hanya ingin berbagi cerita, karena saya juga pernah menghadapi dilema ketika harus memilih antara karir dan keluarga. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencoba menekuni kegiatan yang bisa dikerjakan di rumah sambil mendampingi anak-anak. Berkarir selama 20 tahun rasanya sudah cukup puas dengan berbagai macam pengalaman dan relasi. Meskipun sehari-hari hanya berkutat tidak jauh dari dapur atau bahasa kerennya menjadi wanita “metropawon”, ternyata justru bisa mencoba berbagai peluang kegiatan yang tidak kalah memberikan profit yang lumayan di banding ketika kita menjadi orang kantoran.
Saya sempat memberi masukan kepada Resti – mama Akbar, terus berkarir tidak apa-apa. Menjadi wanita “metropolis” juga merupakan keharusan ketika kita pernah menuntut ilmu dengan setinggi-tingginya dan selanjutnya harus memanfaatkannya. Tapi kebutuhan anak yang utama jangan sampai terlupakan. Terutama perhatian dan kasih sayang dari orang tua, kenyamanan dan keamanan lingkungan sekelilingnya baik di rumah maupun disekolah serta perkembangan psikis dampak dari orang tua yang berpisah. Semoga dia bisa mempertimbangkan, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

“Meniti karir setinggi-tingginya bagi wanita masa kini memang tidak dipermasalahkan. Apalagi kalau sudah menyangkut kebutuhan ekonomi. Tapi jangan sampai karir tersebut menjadi batu sandungan sendiri ketika harus berhadapan dengan kebutuhan akan perhatian dan masa depan anak.”

Salam hangat dari wanita METROPAWON…


Catatan harian, 28 Agustus 2014
Pukul : 08.57

Post a Comment

Inspiravy
Theme by MOSHICOO